analisis sengketa tanah dari segi hukum

Analisis Suatu Kasus Persengketaan Tanah dari sudut Hukum
ANALISIS SENGKETA TANAH DARI SEGI HUKUM

Kasus: Sengketa Lahan di Sumut, Polisi Ikat 185 Warga

Sabtu, 23 Maret 2013
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tindakan represif polisi terhadap masyarakat kembali terjadi, saat 185 warga Kecamatan Naga Juang Kabupaten Mandailing Natal (Madina), Sumatra Utara, mendapat perlakuan tidak manusiawi dari aparat Brimob kepolisian setempat, Jumat (22/3).
"Tangan mereka diikat, lalu disuruh telentang. Selanjutnya ada yang ditendang, ada pula yang dipukul pakai senjata," jelas Koordinator Advokasi Jaringan Tambang Rakyat Madina, Miswar Daulay, Sabtu (23/3).
Kejadian tersebut sebagai puncak dari sengketa antara masyarakat Naga Juang dengan PT Sorik Mas Mining (PT SMM). Perusahaan ini mulai membuka penambangan emas di Naga Juang pada 2011.
Sejak awal warga setempat menolak kehadiran PT SMM di daerah mereka. Sebab selain alasan ekologis, sebagian area yang dijadikan sebagai lokasi aktivitas penambangan oleh perusahaan ini berada di atas tanah ulayat milik masyarakat Naga Juang.
Karenanya, masyarakat meminta PT SMM mengembalikan tanah adat seluas 30 hektare itu kepada mereka. Di sisi lain, masyarakat juga merasa punya hak mengelola sumber daya alam yang ada di area tersebut, sehingga belakangan ada sejumlah warga yang menambang emas pula di lokasi itu secara swadaya.
Dua tahun lalu, konflik ini sempat memanas karena masyarakat dituding membakar aset milik PT SMM yang berada di area lahan yang disengketakan. Padahal menurut pengakuan warga, kata Miswar lagi, aksi pembakaran tersebut justru dilakukan oknum dari perusahaan itu.
Sebelumnya, masyakarat Naga Juang sudah beberapa kali mencoba menyampaikan aspirasi mereka kepada DPRD dan bupati Madina terkait sengketa kedua belah pihak. Namun, pemda setempat cenderung tutup mata atas kasus ini. Masyarakat menduga, hal ini dikarenakan adanya keluarga penguasa yang punya saham di perusahaan tambang tersebut.
Terakhir, sengketa kembali bergolak saat ribuan warga Naga Juang menduduki lahan yang disengketakan tersebut sejak Kamis (21/3) malam. Keesokan paginya, seratusan aparat Brimob dari Tapanuli Selatan, Siantar, dan Sipirok mendatangi lokasi tersebut. Sebanyak 185 orang warga diikat tangannya, lalu disuruh telentang. Mereka juga mendapat perlakuan kekerasan dari aparat-aparat itu.
Menurut Miswar, tindakan represif seperti ini sudah sering dilakukan aparat kepolisian dalam menangani sengketa antara masyarakat dan pihak pengusaha. Dan lagi-lagi, pihak kepolisian selalu  tidak netral dan cenderung berpihak pada pengusaha.
"Masyarakat diperlakukan tak adil karena disebut menambang emas tanpa izin dari penguasa. Padahal (penambangan) itu dilakukan di atas tanah mereka sendiri," ujar Miswar.
Reporter : Ahmad Islamy Jamil
Redaktur : Karta Raharja Ucu
POKOK PERMASALAHAN/ RINGKASAN KASUS
Dalam kasus diatas menyoroti tentang persengketaan atas tanah antara masyarakat Naga Juang dengan PT Sorik Mas Mining (PT SMM) yang sejak tahun 2011 membuka pertambangan dengan luas 30 hektare. Dan objek tanah yang dikuasai atas warga Naga Juang adalah tanah yang belum terdaftar/ belum didaftarkan oleh warga, namun eksistensinya diakui oleh warga setempat bahwa lahan itu adalah Hak Ulayat milik masyarakat Naga Juang. Sejak awal masyarakat Naga Juang menolak PT SMM di daerah mereka. Sebab selain alasan ekologis, sebagian area yang dijadikan sebagian lokasi aktivitas penambangan oleh perusahaan. Dalam kasus ini dikemukakan bahwa warga Naga Juang telah berulang kali melaporkan kasus ini kepada Pemerintah dan DPRD kabupaten Madina. Namun pemda setempat cenderung tutup mata atas kasus ini. Masyarakat menduga bahwa hail ini dikarenakan adanya keluarga dari Pemerintah dan Anggota DPRD yang mempunyai saham di perusahan tambang tersebut. Masyarakat diperlakukan tak adil karena disebut menambang emas tanpa izin dari penguasan. Padahal penambangan itu dilakukan diatas tanah hak ulayat mereka sendiri. Sehingga masyarakat juga punya hak untuk mengelola tanah tersebut.
ANALISIS KASUS
Subjek :
a. PT Sorik Mas Mining
b. Warga Naga Juang ( warga yang bermukim di kabupaten Madina )
c. Pemerintah Kabupaten Madina yang diwakili oleh Bupati Madina
d. Dewan Perwakilan Rakyat
Peristiwa Hukum:
Persengketaan tanah antara PT Sorik Mas Mining (PT. SMM) yang menjadikan lahan masyarakat warga Naga Juang sebagai lahan pertambangan yang dilandaskan oleh Hak Guna Usaha yang dimiliki oleh PT Sorik Mas Mining tersebut. Tanah tersebut merupakan tanah Hak Ulayat masyarakat dan sudah lama digarap oleh warga Naga Juang dan diakui sebagai milik mereka, namun warga Naga Juang belumlah memiliki sertifikat Hak Milik yang sebagai landasan kepemilikan tanah tersebut, tetapi tanah tersebut telah diakui dan disepakati bersama bahwa tanah tersebut merupakan Hak Ulayat mereka dan juga dikuasai dan diduduki oleh Warga Naga Juang.
Objek:
Tanah tempat Pertambangan di atas Hak Ulayat masyarakat Naga Juang
Tonggak awal permasalahan dalam kasus ini adalah tanah Ulayat milik Masyarakat Naga Juang seluas30 hektare diambil alih dan dikelola oleh PT Sorik Mas Mining sejak tahun 2011 hingga sekarang. Tanah tersebut dibeli oleh PT Sorik Mas Mining melalui Pemerintah Madina. Namun sebenarnya, tanah tersebut adalah tanah Ulayat para warga dan tempat warga Naga Juatng dalam menggarap dan mencari mata pencaharian mencari emas dan sumber alam. Namun demikian karena PT Sorik Mas Mining merasa telah memiliki Hak Guna Bangunan diatas lahan tersebut, maka lahan itu diambil dan dipergunakan untuk pertambangan yang diusahakan oleh PT Sorik Mas Mining, tanpa melihat kepentingan dan kedudukan rakyat atas tanah tersebut. Hal itu memicu kemarahan warga karena merasa terganggu lahannya akibat adanya ijin dari pemerintah daerah bagi PT Sorik Mas Mining tersebut untuk membangun suatu usaha pertambangan diatasnya. Namun ada satu kendala pula pada masyarakat Naga Juang karena mereka tidak memiliki sertifikat hak milik atas tanah itu sendiri, namun menurut pengakuan seluruh warga setempat, tanah tersebut adalah tanah ulayat mereka yang sudah dimiliki bertahun-tahun dan turun temurun sehingga menyerupai hak milik, walaupun secara juridis belumlah memiliki bukti yang kuat. Hal ini dapat dikategorikan sebagai Tanah Adat, karena adanya pengakuan penuh atas warga akan tanah tersebut dan eksistensinya masih ada akan kepemilikan tanah tersebut pada warga yang bersangkutan.
Namun dari sudut lain, PT Sorik Mas Mining telah mendapatkan izin atas Hak Guna Usaha dari pemerintah daerah setempat sehingga kedudukannya menjadi sangat kuat karena telah memiliki bukti yuridis ( Tanah yang telah terdaftar), sedangkan lawannya adalah warga Naga Junag yang tanpa bukti kuat yuridis yang menyertainya (Tanah belum terdaftar). Warga setempat sudah mencoba protesberkali-kali Pemerintah Madina yang ditangani langsung oleh Bupati Madina namun hal itu diabaikan oleh Pemerintah daerah yang bersangkutan. Kemelut konflik ini telah berlangsung cukup lama hingga warga melaporkannya ke DPRD Madina untuk penyelesaian kasus ini secara jelas dan tidak berlarut-larut lagi agar hak-hak dari warga Naga Juang tidak terabaikan. Namun jawabannya sama dengan saat melaporkannya di Pemerintah Kabupaten Madina yaitu diabaikan kembali.
DASAR HUKUM
Dalam Pasal 4 ayat (3) dalam UUPA menyatakan:
“atas dasar hak menguasai dari negara, ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah yang dapat diberikan dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain arau badan hukum”
Dari pasal diatas dapat ditarik kesimpulan terdapat berbagai macam hak-hak atas tanah untuk dijadikan bukti untuk menguasai tanah yang digunakan. Sehingga akibat pemanfaatannya tanah sesuai kebutuhan melalui perbuatan hukum sering menimbulkan kepemilikan dan juga sering timbul persengketaan seperti penjelasan yang saya kutip dibawah ini.
Dominasi kegiatan manusia yang berkaitan dengan tanah dibidang ekonomi diwujudkan melalui pemanfaatan tanah sesuai dengan ketentuan UUPA dengan berbagai jenis hak atas tanah seperti Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha dan sebagainya. Akibat pemanfaatan tanah sesuai dengan kebutuhan manusia melalui perbuatan hukum sering menimbulkan hubungan hukum sebagai contoh pemilikan hak atas tanah. Selain itu tanah juga sering menjadi obyek yang sangat subur untuk dijadikan ladang sengketa oleh berbagai pihak dan kelompok[1].
Dalam persengketaan ini merupakan persengketaan antara Hak Ulayat yang dikelola oleh masyarakat Naga Juang dengan Hak Guna Usaha yang dikelola oleh PT Sorik Mas Mining. Menurut Boedu Harsono subyek Hak Ulayat adalah masyarakat adat yang mendiami suatu wilayah tertentu[2]. Dengan begitu tanah tersebut yang berhak mengelola adalah masyarakat Naga Juang. Namun dalam hal ini Hak Ulayat yang dipegang oleh masyarakat diambil alih PT Sorik Mas Mining dengan dalil memegang Hak Guna Usaha yang dikeluarkan oleh pemerintah. Semula Masyarakat sudah menolak kedatangan PT Sorik Mas Mining yang mempergunakan tanah yang dikuasainya untuk pertambangan emas, Masyarakat merasa punya hak juga untuk mengelola tanah tersebut dikarenakan tanah itu adalah tanah mereka. Namun kenyataannya masyarakat tidak diperbolehkan mengelola tanah Ulayat milik mereka, malahan mereka diusir dengan jalur kekerasan oleh pihak berwajib.
Padahal, Tap MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam telah mengamatkan bahwa “menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia” adalah salah satu prinsip yang wajib ditegakkan oleh (aparat) negara dalam penanganan sengketa agraria. Dengan merujuk pada Tap MPR ini saja, cara-cara yang ditempuh oleh (aparat) negara itu tentu saja menjadi tindakan yang tragis-ironis. Sekali lagi hal itu pun bisa menunjukkan, betapa bobroknya implementasi hukum kita, dan betapa masyarakat yang semestinya dilindungi selalu berada dalam posisi tidak berdaya, selalu dipersalahkan, dan menjadi korban. Malangnya, hampir dalam setiap kasus sengketa tanah, posisi masyarakat selalu lemah atau dilemahkan. Masyarakat sering tidak memiliki dokumen-dokumen legal yang bisa membuktikan kepemilikan tanahnya.
Didalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA) sebenarnya termaktub satu ketentuan akan adanya jaminan bagi setiap warga negara untuk memiliki tanah serta mendapat manfaat dari hasilnya (pasal 9 ayat 2). Jika mengacu pada ketentuan tersebut maka Hak Ulayat yang digunakan masyarakat Naga Juang juga patut dan perlu untuk diperjuangkan.
Di dalam peraturan Nasional, Hak Ulayat juga telah diatur dalam Peraturan Menteri Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 menurut Pasal 1 ayat (1) yang dimaksudkan adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut yang bersangkutan.
Arti penting hubungan manusia dengan tanahnya selain dalam hubungan hukum, dalam hukum adat mempunyai hubungan kosmis-magis-religius. Hubungan ini bukan antara individu dengan tanah, tetapi juga antar sekelompok anggota masyarakat suatu persekutuan hukum adat (rechtgemeentschap) di dalam hubungan dengan hak ulayat[3].
Jika mengacu Permen BPN Nomor 5 tahun1999 dan juga dari penjabaran kutipan diatas maka Hak Ulayat merupakan hak menguasai yang dipergunakan warga Naga Juang untuk mengelola tanah kelahiran mereka. Sehingga terdapat hubungan antara tanah dengan masyarakat yang mengelola secara turun temurun tersebut. Oleh karena itu Hak Ulayat yang dimiliki oleh Masyarakat Naga Juang juga telah mempunyai kekuatan hukum.
Disisi lain mengenai objek tanah ini hak yang melekat atasnya adalah Hak Guna Usaha dari PT Sorik Mas Mining, pengertian Hak Guna Usaha itu sendiri menurut UUPA Pasal 28 adalah hak untuk mengusahakan tanah bagi perusahaan, dan tanah tersebut dikuasai langsung oleh Negara, penggunaan tanah ini jangka waktu tertentu sebagaimana disebutkan dalam Pasal 29, dan Hak Guna Usaha ini digunakan sebagai usaha perusahaan dibidang pertambangan. Sedangkan mengenai hapusnya HGU ini diatur dalam Pasal 34 UUPA.
Dari Persengketaan tersebut dibutuhkan segera penyelesaian secara cepat agar tidak menimbulkan korban yang semakin bertambah. Ketetapan MPR No. IX/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria, Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan Keppres No.34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan, pada dasarnya memberi kewenangan yang besar kepada pemerintah daerah untuk menuntaskan masalah-masalah agraria. Adalah sudah selayaknya terlepas dari berbagai kekurangan yang tersimpan di dalam instrumen-instrumen hukum itu jika kewenangan tersebut dimplementasikan, dengan prinsip-prinsip yang tidak melawan hukum itu sendiri tentunya. Namun dalam kenyataannya Pemerintah malahan mengabaikan persengketaan yang telah terjadi di daerah mereka.
Sementara itu, gagasan untuk membentuk kelembagaan dan mekanisme khusus untuk menyelesaikan sengketa tanah semacam Komisi Nasional Penyelesaian Sengketa Agraria dan juga pembentukan lembaga sejenis di daerah sebagaimana yang pernah diusulkan oleh berbagai kalangan, kiranya menjadi relevan pula untuk semakin didesakkan, terlebih jika pemerintah memang benar-benar berkehendak untuk menjalankan reforma agraria dan menangani permasalahan agraria secara serius. Namun kenyataannya hanya usulan saja yang sampai dan tidak sampai direalisasikan. Sehingga kasus-kasus persengketaan masih banyak yang belum terselesaikan.
Menurut Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk kepentingan umum diubah dalam Perpres Nomor 65 Tahun 2006 menjadi sebagai berikut yang terkait dengan kepentingan umum. Isi dari Pasal 1 ayat (3) Perpres No. 65 Tahun 2006 adalah “Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah.” Sehingga jika dikaitkan dengan kasus diatas adalah sudah selayaknya karena pengadaan tanah bagi PT Sorik Mas Mining tersebut seharusnya memberikan ganti rugi kepada warga Naga Juang yang bersangkutan, tetapi ganti rugi sama sekali tidak diberikan kepada warga yang bersangkutan atas tanah belum terdaftar miliknya. .
Ganti rugi yang diberikan dapatlah berupa uang, tanah, atau tempat mencari mata pencahariaan yang sepadan, juga dapat gabungan dua atau lebih bentuk ganti kerugian, dan juga bentuk-bentuk lain yang disepakati oleh para pihak-pihak. Dalam kasus warga Naga Juang harusnya mendapatkan ganti rugi dari pihak PT Sorik Mas Mining. Seharusnya pula sebelum diadakan jual beli tanah jika tanah tersebut merupakan tanah yang dikelola oleh suatu warga atau masyarakat adat tertentu apabila dalam Buku Tanah dan sertifikatnya langsung diatasnamakan pembeli, maka dianggap tidak sah seharusnya harus atas nama penjual terlebih dahulu. Dan seharusnya diadakan pengumuman bahwa penjual/wakilnya dan pembeli/wakilnya harus hadir didepan PPAT untuk menandatangani dengan disaksikan oleh minimal 2 orang saksi yang memenuhi syarat untuk bertindak sebagai saksi, yakni disini dapatlah warga Naga Juang setempat yang menjadi saksi jual-beli tersebut yang telah disepakati oleh warga setempat agar tidak terjadinya sengketa seperti yang terjadi sekarang. Dan seharusnya panitia pengadaan tanah harus melakukan tugasnya dengan baik dalam rangka melakukan penyuluhan, penelitian, musyawarah, menetapkan ganti rugi, dan sebagainya berkaitan dengan objek tanah yang akan dijual tersebut.
Dari kasus sengketa diatas baiknya adalah bahwa warga Naga Juang diberikan ganti rugi yang sesuai dengan besarnya kerugian yang diderita, yakni misalnya pemberian lahan baru sebagai penggantian lahan bagi mereka yang digunakan untuk mata pencaharian ataupun tempat tinggal sebelumnya sudah disepakati oleh warga. Bupati Madina seharusnya juga melihat kasus tersebut dan ikut membantu dengan ganti kerugian yang akan diberikan tersebut karena pada dasarnya warga Naga Juang sudah menyetujuinya dan tidak menuntut pencabutan hak dari PT Sorik Mas Mining itu sendiri, melainkan diberikan ganti rugi yang sesuai. Maka itu seharusnya pemberian ganti rugi tersebut dilakukan secepatnya dengan sesuai dengan ketentuan dan pertimbagan tuntutan dari warga setempat pula.



DAFTAR PUSTAKA

Arif Budiman, Fungsi Tanah dan Kapitalis, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996) hal.69
Boedu Muhammad, Pokok-pokok Hukum Adat, (Jakarta: Praduya Paramitha, 2000) hal 13
Jhon Salindeho, Manusia Tanah Hak dan Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1994) hal. 33

[1] Arif Budiman, Fungsi Tanah dan Kapitalis, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996) hal.69
[2] Boedu Muhammad, Pokok-pokok Hukum Adat, (Jakarta: Praduya Paramitha, 2000) hal 13.
[3] Jhon Salindeho, Manusia Tanah Hak dan Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1994) hal. 33

2 Responses to "analisis sengketa tanah dari segi hukum"

wdcfawqafwef